Follow Us:
23:28 WIB - PERSIAPAN PUNCAK PERAYAAN HBP KE-60 TAHUN 2024, KALAPAS PEKANBARU GELAR RAPAT INTERNAL | 23:26 WIB - PERINGATI HARI BHAKTI PEMASYARAKATAN KE- 60, LAPAS PEKANBARU IKUTI ZIARAH DAN TABUR BUNGA | 17:45 WIB - Bahas 8 Poin Penting Ini ! Kajati Riau Akmal Abbas Ikuti Musrenbang Kejaksaan RI 2024 | 16:26 WIB - Kafilah MTQ Kabupaten Pelalawan Dilepas Dalam Rangka Ikuti MTQ Tingkat Provinsi Riau Ke-42 Tahun 2024 | 16:24 WIB - LAKUKAN PENDATAAN POLSUS, LAPAS PEKANBARU BEKERJA SAMA DENGAN POLRESTA PEKANBARU SEBAGAI WUJUD SINERGITAS | 16:22 WIB - WUJUD SINERGITAS DENGAN APH, LAPAS PEKANBARU IKUTI RAPAT KOORDINASI TERKAIT PENANGANAN TAHANAN
/ Ekonomi / Gagal Diterapkan, Kebijakan Harga Rokok 85% dari Harga Banderol /
Gagal Diterapkan, Kebijakan Harga Rokok 85% dari Harga Banderol
Kamis, 29 April 2021 - 12:22:19 WIB

TERKAIT:
   
 
SuaraSindo.com, Jakarta -- Peneliti di Center Of Human And Economic Development (CHED) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta (ITB-AD) menyoroti ketidaksesuaian kebijakan harga jual eceran rokok (HJE) dengan harga transaksi pasar (HTP) di lapangan.

Dampak tidak sinkronnya regulasi pemerintah terkait harga rokok ini dinilai melemahkan upaya pemerintah untuk menurunkan prevalensi perokok sesuai target RPJMN 2019-2024.

Roosita Meilani Dewi, Kepala Pusat Studi CHED ITB Ahmad Dahlan, mengatakan bahwa saat ini tengah terjadi krisis konsumsi tembakau di Indonesia, serta adanya benturan regulasi mengenai kebijakan harga rokok di pasar.

“Pertama, PMK setiap tahun selalu diterbitkan, yang dengan jelas di pasal 15 diatur bagaimana harga transaksi pasar rokok tidak boleh di bawah 85%. Namun kita lihat di regulasi Dirjen Bea Cukai 37/2017 ternyata mengizinkan pabrikan mematok di bawah 85% asalkan tidak lebih dari 50% kantor wilayah bea cukai,” ujar Roosita dalam diskusi virtual bertajuk Praktik Penjualan Rokok di Bawah Harga Jual Eceran 85% dan Kaitannya dengan Tujuan Cukai untuk Pengendalian Konsumsi dan Pencapaian RPJMN, ditulis Kamis (29/4/2021)


Menurutnya hal ini menimbulkan kerugian vertikal di pemerintah dan horizontal di masyarakat.

"Tidak ada naskah akademik mengenai ketentuan kelonggaran area pengawasan Bea Cukai. Ini perlu dievaluasi. Benturan kebijakan ini menandakan pemerintah belum bersungguh sungguh mewujudkan tujuan RPJMN,” katanya.

Dalam kesempatan yang sama Adi Musharianto, Peneliti CHED ITB Ahmad Dahlan, mengatakan pihaknya menemukan fakta terjadinya praktik penjualan rokok di bawah 85% dari pita cukai.

“Temuan kami di lapangan menunjukkan HTP yang terjadi sekitar 70,66% atau di bawah aturan 85%. HJE misalnya 20 ribu kemudian didiskon lagi. Ini buang-buang kebijakan. Kenapa tidak langsung 85% saja di PMK-nya? Ini pengawasan kita sebagai masyarakat,” ujarnya.

Dia mengatakan ketentuan PMK yang membatasi penjualan HTP pada 85% sudah tepat untuk mengendalikan konsumsi tembakau.

“Tapi perlu penindakan dari pemerintah untuk yang melanggar. Ini juga membuat keterjangkauan lebih sulit bagi anak-anak,” katanya.

Adi berharap pemerintah sebaiknya membuat roadmap mengenai HTP pada 2022-2024 di mana di dalamnya terdapat pengawasan dan tindak tegas untuk perusahaan yang melanggar dan pelaksanaan penetapan tarif cukai sesuai aturan.

Denny Visarro, Manajer Riset Fiskal DDTC, mengungkapkan bahwa dampak ketidaksesuaian dari regulasi HJE dan HTP adalah makin lemahnya kontrol prevalensi perokok. Hal ini menunjukkan bahwa harga merupakan salah satu faktor penentu pengendalian konsumsi tembakau.

“Dalam konteks penetapan HTP 85% yang mana masih bisa dikompromikan dan lebih diperparah sepanjang tidak melebihi lokasi survei. Kenapa bisa ada ini? Kalau dari rasionalisasi bisnis pasti perusahaan mencari cara dalam menekan harga,” ujarnya.

Perusahaan rokok pasti mengincar konsumen, dan di sisi lain ada juga yang ingin menghindari cukai. Dia mengatakan faktor kompromi seperti mengontrol 40 lokasi survei seharusnya dieliminasi.

Persoalan ini sudah menjadi sorotan dari berbagai pihak dalam rangka menyukseskan pengendalian konsumsi tembakau di Indonesia. Kebijakan cukai dan kebijakan hasil tembakau merupakan salah satu kunci menurunkan prevalensi perokok.

Herni Ramdlaningrum, peneliti The Prakarsa di dalam Simposium yang diadakan oleh Indonesia Institute for Social Development (IISD) beberapa waktu lalu menyampaikan bahwa kebijakan yang ada saat ini perlu diimbangi langkah lainnya agar tidak menjadi satu-satunya alat untuk menekan konsumsi rokok.

“Perlu ada strategi lain yang lebih lengkap, seperti pengawasan terhadap produsen rokok besar, perizinan, distribusi atau penjualan, serta sanksi perlu menjadi kerangka hukum yang turut diadopsi,” katanya.(rilis)

sumber Suara.com


Berita Lainnya :
  • PERSIAPAN PUNCAK PERAYAAN HBP KE-60 TAHUN 2024, KALAPAS PEKANBARU GELAR RAPAT INTERNAL
  • PERINGATI HARI BHAKTI PEMASYARAKATAN KE- 60, LAPAS PEKANBARU IKUTI ZIARAH DAN TABUR BUNGA
  • Bahas 8 Poin Penting Ini ! Kajati Riau Akmal Abbas Ikuti Musrenbang Kejaksaan RI 2024
  • Kafilah MTQ Kabupaten Pelalawan Dilepas Dalam Rangka Ikuti MTQ Tingkat Provinsi Riau Ke-42 Tahun 2024
  • LAKUKAN PENDATAAN POLSUS, LAPAS PEKANBARU BEKERJA SAMA DENGAN POLRESTA PEKANBARU SEBAGAI WUJUD SINERGITAS
  • WUJUD SINERGITAS DENGAN APH, LAPAS PEKANBARU IKUTI RAPAT KOORDINASI TERKAIT PENANGANAN TAHANAN
  • Jembatan Sepanjang 6,7 KM Akan Dibangun Oleh Dinas PUPR Dengan Anggaran Sebesar RP 7 Triliun Untuk Pulau Bengkalis - Sumatera
  • Sejumlah Awak Media Riau Bersilaturahmi ke Polsek Pangkalan Kecamatan Pangkalan Koto Baru Provinsi Sumbar
  • Ketua IKM Rohil Jakarta Hadiri Peresmian Tugu Nelayan Pulau Halang
  •  
    Komentar Anda :
       
     
    PT. Jean Seputar Indonesia
    Copyright © 2017